Jumat, 18 Januari 2013

Cerpen Suara Terakhir


Suara Terakhir

“Teng..teng..teng..” bel masuk berbunyi. Suara itu adalah yang pertama kali aku dengar setibanya aku di sekolah.  Aku sangat tidak menyukai suara itu. Setiap kali aku mendengarnya, aku pasti terbayang akan dirinya.
“Hai Mos..” sapa Niko padaku.
“Hei, jangan panggil aku Mos! Memangnya aku tikus? Panggil aku Mosa atau Sa.” jawabku padanya. Aku memang tidak pernah menyukai panggilan Mos. Menurutku, panggilan Mos itu seperti nama tikus dalam bahasa Inggris, yaitu Mouse.
“Tidak mau. Kamu itu memang seperti tikus, jadi pantas kalau dipanggil Mos. Lihat hidung kamu bulat seperti tikus.”
Aku tak membalasnya karena aku tahu aku takkan pernah menang berdebat dengannya. Dia adalah juara debat tingkat nasional. Aku hanya dapat menampakkan wajah kesal padanya.
“Hei, jangan marah! Aku hanya bercanda. Aku minta maaf kalau begitu.” katanya padaku.
Aku tahu dengan begini dia pasti akan mengalah padaku. Dia adalah orang yang tidak pernah suka melihat orang lain bersedih. Terlebih lagi yang disebabkan oleh dirinya. “Baiklah, tetapi setelah pulang sekolah kamu harus menraktir aku bakso lagi.”
“Ok.” jawabnya sembari melihatku.
Setiap kali dia meminta maaf atas kesalahannya itu, aku selalu meminta bakso sebagai ganti permintaan maaf. Aku tidak tahu mengapa dia selalu mengiyakannya dengan mudah. Aku tidak mau menanyakan hal itu karena yang terpenting bagiku adalah perutku bisa kenyang. Tetapi ada satu hal lagi yang tidak aku mengerti, hingga aku bertanya kepadanya.
“Niko, apa kamu tidak pernah bosan menyapaku setiap kali aku sampai di sekolah?”
“Tidak.” jawabnya singkat.
“Kenapa? Apa kamu suka sama aku?”
“Iya.”
Aku terkejut mendengar jawabannya. Aku meliriknya dan bertanya, “Mudah sekali kamu mengatakan itu?”
“Tidak tahu.” jawabnya lagi dengan mudah.
“Bagaimana bisa kamu menyukaiku?”
“Tidak tahu.”
“Sejak kapan kamu menyukaiku?”
“Tidak tahu.”
“Mengapa kamu hanya menjawab tidak tahu?”
“Karena aku memang tidak tahu.”
Aku yang kesal padanya langsung berlari keluar sekolah. Aku tidak melihat jalan yang kulewati hingga sebuah mobil yang melaju kencang akan menabrakku. Aku hanya dapat berteriak dan menutup mata. Niko yang mengejarku sedari tadi, menyelamatkanku. Aku merasa terdorong ke pinggir jalan. Saat aku membuka mata, aku melihat Niko telah bercucuran darah. Aku langsung menghampirinya. Aku menangis dan hanya dapat memanggil namanya sembari berteriak minta tolong.
“Niko, Niko bagun. Tolong, tolong!” teriakku.
“Mos..sa..” ujar Niko tiba-tiba dengan suara yang pelan dan tertatih-tatih.
“Jangan bicara dulu!”
“Mos..sa, aku menyukaimu. Apakah kau juga menyukaiku?”
“Hei, aku sudang bilang jangan bicara dulu.”
“Jawab pertanyaanku!”
“Iya..iya, aku menyukaimu. Aku sangat menyukaimu. Aku sudah lama menyukaimu. Aku juga tidak tahu sejak kapan aku menyukaimu dan mengapa aku menyukaimu. Sudahlah, jangan bicara lagi!”
Niko tersenyum sembari berkata,“Terima kasih atas kenangan indah yang telah kau berikan kepadaku.”
“Hei, apa yang kau bicarakan?”
Niko hanya tersenyum manis kepadaku lalu pingsan. Orang-orang yang baru datang disekitarku langsung membawanya ke rumah sakit. Aku segera menghubungi kedua orang tua Niko dan orang tuaku. Orang tuaku segera menjemput dan membawaku ke rumah sakit bersama orang tua Niko.
Sesampainya di rumah sakit, aku tercengang. Aku mendengar kabar dari dokter bahwa ia telah tiada. Ia meninggal di perjalanan menuju rumah sakit. Aku menagis di dekapan orang tuaku. Aku merasa bersalah. Aku merasa, dia meninggal karena aku. Orang tuaku hanya dapat menghiburku dan mengatakan bahwa itu bukan salahku.
“Sa..” sapa salah satu temanku tiba-tiba,“Apa kamu masih memikirkan bunyi bel itu?”
Aku hanya mengangguk pelan. Saat Niko masih hidup, suaranya adalah yang pertama kali aku dengar di sekolah. Sekarang bunyi bel itu adalah suara yang pertama kali aku dengar di sekolah. Aku benar-benar merindukan suara dan sapaan darinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar