Suara
Terakhir
“Teng..teng..teng..”
bel masuk berbunyi. Suara itu adalah yang pertama kali aku dengar setibanya aku
di sekolah. Aku sangat tidak menyukai
suara itu. Setiap kali aku mendengarnya, aku pasti terbayang akan dirinya.
“Hai Mos..” sapa Niko
padaku.
“Hei, jangan panggil
aku Mos! Memangnya aku tikus? Panggil aku Mosa atau Sa.” jawabku padanya. Aku
memang tidak pernah menyukai panggilan Mos. Menurutku, panggilan Mos itu
seperti nama tikus dalam bahasa Inggris, yaitu Mouse.
“Tidak mau. Kamu itu
memang seperti tikus, jadi pantas kalau dipanggil Mos. Lihat hidung kamu bulat
seperti tikus.”
Aku tak membalasnya
karena aku tahu aku takkan pernah menang berdebat dengannya. Dia adalah juara
debat tingkat nasional. Aku hanya dapat menampakkan wajah kesal padanya.
“Hei, jangan marah! Aku
hanya bercanda. Aku minta maaf kalau begitu.” katanya padaku.
Aku tahu dengan begini
dia pasti akan mengalah padaku. Dia adalah orang yang tidak pernah suka melihat
orang lain bersedih. Terlebih lagi yang disebabkan oleh dirinya. “Baiklah, tetapi
setelah pulang sekolah kamu harus menraktir aku bakso lagi.”
“Ok.” jawabnya sembari
melihatku.
Setiap kali dia meminta
maaf atas kesalahannya itu, aku selalu meminta bakso sebagai ganti permintaan
maaf. Aku tidak tahu mengapa dia selalu mengiyakannya dengan mudah. Aku tidak
mau menanyakan hal itu karena yang terpenting bagiku adalah perutku bisa
kenyang. Tetapi ada satu hal lagi yang tidak aku mengerti, hingga aku bertanya
kepadanya.
“Niko, apa kamu tidak
pernah bosan menyapaku setiap kali aku sampai di sekolah?”
“Tidak.” jawabnya
singkat.
“Kenapa? Apa kamu suka
sama aku?”
“Iya.”
Aku terkejut mendengar
jawabannya. Aku meliriknya dan bertanya, “Mudah sekali kamu mengatakan itu?”
“Tidak tahu.” jawabnya
lagi dengan mudah.
“Bagaimana bisa kamu
menyukaiku?”
“Tidak tahu.”
“Sejak kapan kamu
menyukaiku?”
“Tidak tahu.”
“Mengapa kamu hanya
menjawab tidak tahu?”
“Karena aku memang
tidak tahu.”
Aku yang kesal padanya
langsung berlari keluar sekolah. Aku tidak melihat jalan yang kulewati hingga
sebuah mobil yang melaju kencang akan menabrakku. Aku hanya dapat berteriak dan
menutup mata. Niko yang mengejarku sedari tadi, menyelamatkanku. Aku merasa
terdorong ke pinggir jalan. Saat aku membuka mata, aku melihat Niko telah bercucuran
darah. Aku langsung menghampirinya. Aku menangis dan hanya dapat memanggil
namanya sembari berteriak minta tolong.
“Niko, Niko bagun.
Tolong, tolong!” teriakku.
“Mos..sa..” ujar Niko
tiba-tiba dengan suara yang pelan dan tertatih-tatih.
“Jangan bicara dulu!”
“Mos..sa, aku
menyukaimu. Apakah kau juga menyukaiku?”
“Hei, aku sudang bilang
jangan bicara dulu.”
“Jawab pertanyaanku!”
“Iya..iya, aku
menyukaimu. Aku sangat menyukaimu. Aku sudah lama menyukaimu. Aku juga tidak
tahu sejak kapan aku menyukaimu dan mengapa aku menyukaimu. Sudahlah, jangan
bicara lagi!”
Niko tersenyum sembari
berkata,“Terima kasih atas kenangan indah yang telah kau berikan kepadaku.”
“Hei, apa yang kau
bicarakan?”
Niko hanya tersenyum
manis kepadaku lalu pingsan. Orang-orang yang baru datang disekitarku langsung
membawanya ke rumah sakit. Aku segera menghubungi kedua orang tua Niko dan
orang tuaku. Orang tuaku segera menjemput dan membawaku ke rumah sakit bersama
orang tua Niko.
Sesampainya di rumah
sakit, aku tercengang. Aku mendengar kabar dari dokter bahwa ia telah tiada. Ia
meninggal di perjalanan menuju rumah sakit. Aku menagis di dekapan orang tuaku.
Aku merasa bersalah. Aku merasa, dia meninggal karena aku. Orang tuaku hanya
dapat menghiburku dan mengatakan bahwa itu bukan salahku.
“Sa..” sapa salah satu
temanku tiba-tiba,“Apa kamu masih memikirkan bunyi bel itu?”
Aku hanya mengangguk
pelan. Saat Niko masih hidup, suaranya adalah yang pertama kali aku dengar di
sekolah. Sekarang bunyi bel itu adalah suara yang pertama kali aku dengar di
sekolah. Aku benar-benar merindukan suara dan sapaan darinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar