"Mungkin lo dan orang lainnya bakalan ketawa kalau denger cerita pengalaman gue ini. Hal yang gue pun gak tahu kenapa gue berpikiran begitu dulu. Gue pikir 'riting' motor itu bisa nyala sendiri. Dia bakalan nyala kalau kita mau belok. Kalau gak mau belok, juga gak bakalan nyala. Seperti motor itu tahu pengennya kita. Kalau mau belok tapi 'riting'nya gak nyala, berarti motornya rusak. Dangkal banget."
"Itu masih pemikiran pertama gue. Pemikiran kedua, gue kira 'riting' itu yang buat motor jadi bisa belok. Hampir mirip sama pemikiran pertama, motor itu bakalan tahu kalau kita mau belok. Terus motornya bakalan nyalain si 'riting' biar kita bisa belok. Ntar kalau 'riting'nya gak nyala, kita bakalan nabrak..ckckckck.. Amat lebih dangkal."
Mendengar ceritaku, dia hanya tersenyum. Senyumannya manis sekali. Tetapi bukan cuma itu yang aku inginkan. Aku ingin dia berucap sepatah, dua patah kata. "Dia itu benar-benar cowok terdiam yang pernah aku temui. Nggak seperti temen-temenku cowok yang lain. Ramainya minta ampun, hampir kayak cewek. Berbeda sekali dengan cowok satu ini. Dia benar-benar menghemat kata. Dia cuma ngomong kalau benar-benar diperlukan. Tapi, intensitas diperlukannya dia sama gue dan yang lainnya beda banget. Sekali-sekali dia kan juga perlu ngomong buat ngobrol." Aku paling tidak suka dengan orang sangat pendiam seperti dia. Dia jadi seperti tantangan buat aku. "Aku harus bisa buat dia ngomong. Habis dia gak pernah ngomong sepatah kata pun ke aku." Dia hanya menunjukkan isyarat-isyarat tertentu ke aku kalau dia butuh. "Aduh, orang ini kenapa sih? Susah banget buat dia buka mulut buat gue. Sekali aja." batinku.
"Aran." panggilku.
Dia hanya memandangku dengan ekspresi bertanya. Kalau diungkapkan dengan kata, mungkin dia akan berkata, "Ya." atau "Ada apa?" Aku berharap dia benar-benar mengatakannya. Tetapi itu mungkin seperti pungguk merindukan bulan, alias tidak akan kesampaian. "Nama dia aja, gue tahu dari guru yang waktu perkenalin dia. Padahal kita udah hampir lulus. Kenapa gue gak pernah berhasil buat dia ngomong? Salah apa aku, Tuhan?" batinku lagi.
"Ketawa dikit!" pintaku, "sekarang mangap!" Dia mengikuti apa yang aku katakan.
"Panggil namaku!" pintaku lagi dan tidak berhasil. Ia hanya kembali tersenyum. "Sungguh kejam sekali dunia ini padaku..hiks." batinku.
"tet.." tiba-tiba bel tanda istirahat selesai, berbunyi. Dia spontan berdiri dari singgahsananya dan menarikku pergi dari tempat paling menyenangkan untuk kami berdua, yaitu taman lapangan belakang sekolah, menuju tempat paling membosankan untukku, kelas. Aku paling tidak suka berada di kelas. Kelas adalah tempat yang membuatku mengantuk dan merasa bengah. Hal yang sangat berkebalikan dengan taman lapangan belakang. Tempat kami berdua bercanda dan menghabiskan waktu istirahat. Aku tidak pernah menghabiskan waktu di kantin. Setiap hari, aku membawa bekal dari rumah yang akan aku makan di taman belakang sekolah. Harga makanan di kantin terlalu mahal untukku sehingga aku memilih untuk membawa dari rumah.
Sebenarnya, yang selama hampir tiga tahun selalu pergi ke taman lapangan belakang hanya aku. Aran tidak sengaja menemukan tempat ini, saat dia mencariku untuk memberikan bukunya yang ingin aku pinjam. Setelah itu, tempat ini jadi seperti milik kami berdua dan dia jadi teman yang paling dekat denganku.
Setiba di kelas, aku langsung menyerbu Aran seperti biasa. "Lo gak capek apa, selalu cepet-cepet ngajak gue ke kelas?" tanyaku, "Gak da bosen-bosennya ya lo. Setiap gue ngomong cuma dibales ama senyuman lo itu." Dia tetap tersenyum sambil membuka buku matematika yang jadi pelajaran setelah ini. Dia adalah satu-satunya cowok di kelasku yang rajin. Cowok yang lain pasti mencari kesibukan lain. Tetapi itulah yang membuat aku mau berteman dengan dia. Selain dia rajin, dia juga suka matematika seperti aku.
"Oke. Untuk kali ini gue kalah lagi. Tapi lain kali gue gak bakalan nyerah." kataku pada Aran, "Gue bakalan bikin lo mau ngomong ke gue."
Akhirnya, aku duduk di sampingnya dengan hanya berdiam diri. Dia kelihatan bingung. Mungkin karena aku tidak berkata apa pun yang biasanya aku tidak akan berhenti membujuknya sampai pelajaran di mulai. "Biarin aja, salah sendiri gak mau ngomong" batinku.
Dan sampai waktunya pulang, aku tidak mengatakan sepatah kata pun. Dia pun juga tidak memberikan respect yang berarti selain bingung tadi. Aku memutuskan untuk tidak keluar kelas terlebih dahulu. Untuk pertama kalinya aku melakukan hal ini. Biasanya, aku pasti sudah pergi duluan meninggkalkan dia dan teman-teman yang lain untuk keluar kelas. Hari ini, tubuhku serasa lelah sekali. Entah apa yang membuatku begini. Aku hanya duduk di kelas sembari menunggu teman-teman keluar dari kelas satu-persatu. Aku tidak tahu alasanku menunggu, aku hanya ingin melakukannya. Dan akhirnya, hanya ada aku dan Aran. Aku tidak tahu mengapa dia juga masih di kelas. "Apa dia nunggu gue?" batinku.
Sedetik kemudian, dia berdiri dan beranjak pergi. "Ah..ternyata cuma perasaan gue." Dan aku kembali tertunduk.
"Rasti."
Ada yang memanggilku, tetapi aku tidak kenal suara itu. Suaranya seperti berasal dari depan kelas. Aku mencoba melihat ke sumber suara.
"Ya Tuhan." Aku hanya duduk terpaku dengan wajah penuh takjub. Aku benar-benar terkejut.
"Aku tunggu di taman lapangan belakang.", itulah yang diucapkannya kemudian. Sedetik kemudian, dia beranjak pergi.
Aku berdiri dan mulai beranjak pergi dari kelas. Aku berjalan dengan lunglai. Aku tetap terkejut hingga aku tak sadar aku sudah berada di taman lapangan belakang sesuai dengan permintaannya.
Aku melihat dia duduk di sana. Dia hanya tersenyum melihatku dan memberikan isyarat untuk duduk di sebelahnya.
Aku tanpa sadar dan tanpa berpikir, melakukan permintaannya. Aku telah duduk di sampingnya. Aku memandanginya dan dia juga memandangiku. Aku terpaku di hadapannya.
"Sett." dengan cepat, sudah ada sebuah kotak berukuran sekitar 10x10cm dihadapanku. Aku terkejut. Aku mengalihkan pandanganku dari kotak itu ke dia. "Apa ini?" akhirnya aku buka mulut.
"Bukalah" kata dia padaku.
Aku lebih terkejut. Aku pegang kotak itu dan mulai membukanya. "Ya Tuhan." Itu adalah sebuah kalung. Ada sebuah kertas di sampingnya.
Selamat Ulang Tahun Rasti.
"Ya Tuhan. Gue bener-bener gak inget. Tapi lo?" Aku memandangnya. Dia hanya tersenyum. Aku memutuskan kembali melanjutkan membaca.
Semoga panjang umur dan selalu disayang sama orang lain. Semoga juga kamu selalu mendapatkan apa yang kamu inginkan. Semoga kamu selalu mendapatkan yang terbaik untukmu. Semoga kamu selalu sehat dan bahagia.
Dalam hati aku berkata, "Amin."
Dan jika aku boleh melengkapi kebahagiaanmu, Aku ingin kamu menjadi orang yang spesial untukku. Aku ingin kau tetap menjadi bunga yang selalu mengharumkan hari-hariku. Aku ingin kau tetap menjadi matahari yang selalu menghangatkan hari-hariku. Aku ingin kau tetap menjadi langit cerah yang selalu ceriakan hariku. Aku ingin selalu melihat wajahmu. Senyummu, tawamu, sedihmu, murungmu, lucumu, dan wajah-wajah konyolmu yang lain. Aku ingin tetap merasakan keceriaanmu selamanya. Aku ingin melihatmu hingga ajal memisahkan kita. Meski ini terlalu berlebihan, aku berharap dan berdo'a agar hal ini terjadi. Dan langkah pertama hal ini dapat terjadi ialah kau menjadi orang spesialku. Jika tidak, aku takut nanti kita tak bisa bertemu lagi denganmu, dengan senyummu, dengan sedihmu, dengan semua hal yang kau miliki.
Yang terakhir...
Maukah kamu menjadi orang yang spesial untukku?
Aku benar-benar terkejut. "Apa dia menembak gue? Kenapa gue bego' banget sih?" batinku.
"Maksudnya?" akhirnya aku tanyakan padanya.
Dia memandangku dan berkata, "Would you be mine, Rasti?"
Aku terpaku memandanginya. Dia memegang tanganku. "Apakah kamu mau menjadi pacarku, Rasti?" ulangnya.
Sontak aku memeluknya. Aku menangis. Semua perasaanku bercampur. Haru, senang, gembira, bangga. Semuanya bercampur. Akhirnya dia berbicara padaku. Akhirnya dia berkata lebih dari yang aku inginkan. Dan ternyata, perasaan ini tidak hanya milikku. Dia memilikinya. Dia juga merasakan hal yang sama.
Aku memandangnya. "Iya." kataku, "Untuk hari ini dan seterusnya, asalkan lo janji sama gue."
"Apa yang kamu inginkan dari ku?" tanyanya.
"Gue pingin lo setiap hari ngomong ke gue. Minimal nyapa gue. Panggil nama gue." jawabku.
Dia tersenyum. Dia tertawa. "Iya. Pasti." katanya, "Aku akan memanggilmu setiap hari, tapi hanya di depanmu." Dia mencolek hidungku.
"Apa sih, loe ini?" protesku.
Dia tertawa. Dia menertawaiku. Dan dia memelukku. Hangat sekali. Perasaan yang tidak pernah aku rasakan selain bersamanya.
'Aran' my best friend and my lovely.
"Itu masih pemikiran pertama gue. Pemikiran kedua, gue kira 'riting' itu yang buat motor jadi bisa belok. Hampir mirip sama pemikiran pertama, motor itu bakalan tahu kalau kita mau belok. Terus motornya bakalan nyalain si 'riting' biar kita bisa belok. Ntar kalau 'riting'nya gak nyala, kita bakalan nabrak..ckckckck.. Amat lebih dangkal."
Mendengar ceritaku, dia hanya tersenyum. Senyumannya manis sekali. Tetapi bukan cuma itu yang aku inginkan. Aku ingin dia berucap sepatah, dua patah kata. "Dia itu benar-benar cowok terdiam yang pernah aku temui. Nggak seperti temen-temenku cowok yang lain. Ramainya minta ampun, hampir kayak cewek. Berbeda sekali dengan cowok satu ini. Dia benar-benar menghemat kata. Dia cuma ngomong kalau benar-benar diperlukan. Tapi, intensitas diperlukannya dia sama gue dan yang lainnya beda banget. Sekali-sekali dia kan juga perlu ngomong buat ngobrol." Aku paling tidak suka dengan orang sangat pendiam seperti dia. Dia jadi seperti tantangan buat aku. "Aku harus bisa buat dia ngomong. Habis dia gak pernah ngomong sepatah kata pun ke aku." Dia hanya menunjukkan isyarat-isyarat tertentu ke aku kalau dia butuh. "Aduh, orang ini kenapa sih? Susah banget buat dia buka mulut buat gue. Sekali aja." batinku.
"Aran." panggilku.
Dia hanya memandangku dengan ekspresi bertanya. Kalau diungkapkan dengan kata, mungkin dia akan berkata, "Ya." atau "Ada apa?" Aku berharap dia benar-benar mengatakannya. Tetapi itu mungkin seperti pungguk merindukan bulan, alias tidak akan kesampaian. "Nama dia aja, gue tahu dari guru yang waktu perkenalin dia. Padahal kita udah hampir lulus. Kenapa gue gak pernah berhasil buat dia ngomong? Salah apa aku, Tuhan?" batinku lagi.
"Ketawa dikit!" pintaku, "sekarang mangap!" Dia mengikuti apa yang aku katakan.
"Panggil namaku!" pintaku lagi dan tidak berhasil. Ia hanya kembali tersenyum. "Sungguh kejam sekali dunia ini padaku..hiks." batinku.
"tet.." tiba-tiba bel tanda istirahat selesai, berbunyi. Dia spontan berdiri dari singgahsananya dan menarikku pergi dari tempat paling menyenangkan untuk kami berdua, yaitu taman lapangan belakang sekolah, menuju tempat paling membosankan untukku, kelas. Aku paling tidak suka berada di kelas. Kelas adalah tempat yang membuatku mengantuk dan merasa bengah. Hal yang sangat berkebalikan dengan taman lapangan belakang. Tempat kami berdua bercanda dan menghabiskan waktu istirahat. Aku tidak pernah menghabiskan waktu di kantin. Setiap hari, aku membawa bekal dari rumah yang akan aku makan di taman belakang sekolah. Harga makanan di kantin terlalu mahal untukku sehingga aku memilih untuk membawa dari rumah.
Sebenarnya, yang selama hampir tiga tahun selalu pergi ke taman lapangan belakang hanya aku. Aran tidak sengaja menemukan tempat ini, saat dia mencariku untuk memberikan bukunya yang ingin aku pinjam. Setelah itu, tempat ini jadi seperti milik kami berdua dan dia jadi teman yang paling dekat denganku.
Setiba di kelas, aku langsung menyerbu Aran seperti biasa. "Lo gak capek apa, selalu cepet-cepet ngajak gue ke kelas?" tanyaku, "Gak da bosen-bosennya ya lo. Setiap gue ngomong cuma dibales ama senyuman lo itu." Dia tetap tersenyum sambil membuka buku matematika yang jadi pelajaran setelah ini. Dia adalah satu-satunya cowok di kelasku yang rajin. Cowok yang lain pasti mencari kesibukan lain. Tetapi itulah yang membuat aku mau berteman dengan dia. Selain dia rajin, dia juga suka matematika seperti aku.
"Oke. Untuk kali ini gue kalah lagi. Tapi lain kali gue gak bakalan nyerah." kataku pada Aran, "Gue bakalan bikin lo mau ngomong ke gue."
Akhirnya, aku duduk di sampingnya dengan hanya berdiam diri. Dia kelihatan bingung. Mungkin karena aku tidak berkata apa pun yang biasanya aku tidak akan berhenti membujuknya sampai pelajaran di mulai. "Biarin aja, salah sendiri gak mau ngomong" batinku.
Dan sampai waktunya pulang, aku tidak mengatakan sepatah kata pun. Dia pun juga tidak memberikan respect yang berarti selain bingung tadi. Aku memutuskan untuk tidak keluar kelas terlebih dahulu. Untuk pertama kalinya aku melakukan hal ini. Biasanya, aku pasti sudah pergi duluan meninggkalkan dia dan teman-teman yang lain untuk keluar kelas. Hari ini, tubuhku serasa lelah sekali. Entah apa yang membuatku begini. Aku hanya duduk di kelas sembari menunggu teman-teman keluar dari kelas satu-persatu. Aku tidak tahu alasanku menunggu, aku hanya ingin melakukannya. Dan akhirnya, hanya ada aku dan Aran. Aku tidak tahu mengapa dia juga masih di kelas. "Apa dia nunggu gue?" batinku.
Sedetik kemudian, dia berdiri dan beranjak pergi. "Ah..ternyata cuma perasaan gue." Dan aku kembali tertunduk.
"Rasti."
Ada yang memanggilku, tetapi aku tidak kenal suara itu. Suaranya seperti berasal dari depan kelas. Aku mencoba melihat ke sumber suara.
"Ya Tuhan." Aku hanya duduk terpaku dengan wajah penuh takjub. Aku benar-benar terkejut.
"Aku tunggu di taman lapangan belakang.", itulah yang diucapkannya kemudian. Sedetik kemudian, dia beranjak pergi.
Aku berdiri dan mulai beranjak pergi dari kelas. Aku berjalan dengan lunglai. Aku tetap terkejut hingga aku tak sadar aku sudah berada di taman lapangan belakang sesuai dengan permintaannya.
Aku melihat dia duduk di sana. Dia hanya tersenyum melihatku dan memberikan isyarat untuk duduk di sebelahnya.
Aku tanpa sadar dan tanpa berpikir, melakukan permintaannya. Aku telah duduk di sampingnya. Aku memandanginya dan dia juga memandangiku. Aku terpaku di hadapannya.
"Sett." dengan cepat, sudah ada sebuah kotak berukuran sekitar 10x10cm dihadapanku. Aku terkejut. Aku mengalihkan pandanganku dari kotak itu ke dia. "Apa ini?" akhirnya aku buka mulut.
"Bukalah" kata dia padaku.
Aku lebih terkejut. Aku pegang kotak itu dan mulai membukanya. "Ya Tuhan." Itu adalah sebuah kalung. Ada sebuah kertas di sampingnya.
Selamat Ulang Tahun Rasti.
"Ya Tuhan. Gue bener-bener gak inget. Tapi lo?" Aku memandangnya. Dia hanya tersenyum. Aku memutuskan kembali melanjutkan membaca.
Semoga panjang umur dan selalu disayang sama orang lain. Semoga juga kamu selalu mendapatkan apa yang kamu inginkan. Semoga kamu selalu mendapatkan yang terbaik untukmu. Semoga kamu selalu sehat dan bahagia.
Dalam hati aku berkata, "Amin."
Dan jika aku boleh melengkapi kebahagiaanmu, Aku ingin kamu menjadi orang yang spesial untukku. Aku ingin kau tetap menjadi bunga yang selalu mengharumkan hari-hariku. Aku ingin kau tetap menjadi matahari yang selalu menghangatkan hari-hariku. Aku ingin kau tetap menjadi langit cerah yang selalu ceriakan hariku. Aku ingin selalu melihat wajahmu. Senyummu, tawamu, sedihmu, murungmu, lucumu, dan wajah-wajah konyolmu yang lain. Aku ingin tetap merasakan keceriaanmu selamanya. Aku ingin melihatmu hingga ajal memisahkan kita. Meski ini terlalu berlebihan, aku berharap dan berdo'a agar hal ini terjadi. Dan langkah pertama hal ini dapat terjadi ialah kau menjadi orang spesialku. Jika tidak, aku takut nanti kita tak bisa bertemu lagi denganmu, dengan senyummu, dengan sedihmu, dengan semua hal yang kau miliki.
Yang terakhir...
Maukah kamu menjadi orang yang spesial untukku?
Aku benar-benar terkejut. "Apa dia menembak gue? Kenapa gue bego' banget sih?" batinku.
"Maksudnya?" akhirnya aku tanyakan padanya.
Dia memandangku dan berkata, "Would you be mine, Rasti?"
Aku terpaku memandanginya. Dia memegang tanganku. "Apakah kamu mau menjadi pacarku, Rasti?" ulangnya.
Sontak aku memeluknya. Aku menangis. Semua perasaanku bercampur. Haru, senang, gembira, bangga. Semuanya bercampur. Akhirnya dia berbicara padaku. Akhirnya dia berkata lebih dari yang aku inginkan. Dan ternyata, perasaan ini tidak hanya milikku. Dia memilikinya. Dia juga merasakan hal yang sama.
Aku memandangnya. "Iya." kataku, "Untuk hari ini dan seterusnya, asalkan lo janji sama gue."
"Apa yang kamu inginkan dari ku?" tanyanya.
"Gue pingin lo setiap hari ngomong ke gue. Minimal nyapa gue. Panggil nama gue." jawabku.
Dia tersenyum. Dia tertawa. "Iya. Pasti." katanya, "Aku akan memanggilmu setiap hari, tapi hanya di depanmu." Dia mencolek hidungku.
"Apa sih, loe ini?" protesku.
Dia tertawa. Dia menertawaiku. Dan dia memelukku. Hangat sekali. Perasaan yang tidak pernah aku rasakan selain bersamanya.
'Aran' my best friend and my lovely.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar